Ilmu al-Quran - Munasabah

BAB I

P E N D A H U L U A N

Kehadiran Al-Qur’an dari misi risalah Rasulullah SAW selalu mengundang perhatian berbagai pihak untuk mengadakan studi. Aspek kajiannya terus berkembang baik dari aspek ilmiah maupun aspek non ilmiah. Hal ini barangkali dikarenakan oleh mukjizat Al-Qur’an. Keajaiban Al-Qur’an seperti air laut tak pernah kering untuk ditimba. Ia lalu memberikan inspirasi kepada manusia tanpa habis-habisnya.

Kajian-kajian yang muncul seperti : asbab al-nuzul, munasabah, al-muhkam wa al-mutasyabih, al-qira’at, tartib al-ayat wa al-suwar dan al-tafsir bi al-ma’tsur wa al-ma’qul. Kajian secara menyeluruh untuk hal-hal tersebut telah pernah diketengahkan oleh para ulama klasik dan kontemporer dalam ruang lingkup kajian ulum al-Qur’an.

Al-sayuthi menyebutkan beberapa orang yang pernah menulis tentang Munasabah yaitu :

1. Abu Ja’far bin Zubair dalam kitabnya al-Burhan fi Munasabah tartib Suwar al-Qur’an.

2. Syeikh Burhanuddin dalam kitabnya Nazham al-Durar fi Tanasub al-Ayi wa al-Suwar.

3. Al-sayuthi menulis dalam kitabnya Assar al-Tanzil.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Dan Macam-Macamnya.

Munasabah secara etimologi berarti kecocokan, kesesuaian atau kepantasan. Manna’ al-Qathan mengatakan bahwa munasabah dalam pengertian bahasa berarti kedekatan ( al-Muqarrabah ). Misalnya jika dikatakan “si A munasabah dengan si Pulan”, berarti si A mendekati dan menyerupai si Pulan itu. Di antara pengertian ini termasuk munasabah, ‘illat hukum dalam qiyas yaitu adanya aturan logis yang melandasi suatu hukum yang dapat menghubungkan antara kedua kasus. Ilustrasi lebih konkrit misalnya “memabukkan” adalah ‘illat munasabah” yang menyebabakan diharamkannya “khamar”. Bila zat yang memabukkan itu dijumpai dalam minuman selain ‘khamar’, maka minuman itu sama hukumnya dengan ‘khamar’ yakni haram.

Munasabah secara terminologi dapat diartikan segi-segi hubungan antara satu kalimat dengan kalimat yang lain dalam suatu ayat, antara satu ayat dengan ayat yang lain dalam banyak ayat, atau antara satu surah dengan surah yang lain, antara pembukaan surah dengan penutupan dan seterusnya. M. Quraisy Shihab memberi pengertian munasabah sebagai kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam al-Qur’an, baik surah maupun ayat-ayatnya yang menghubungkan uraian satu ayat dengan yang lainnya. Al-Biqa’i menjelaskan bahwa ilmu munasabah al-Qur’an adalah suatu ilmu yang mengetahui alasan-alasan yang menyebabkan susunan atau urutan bagian-bagian al-Qur’an, baik ayat dengan ayat ataupun surah dengan surah. Dengan demikian pembahasan munasabah adalah berkisar pada segala macam hubungan yang ada : seperti hubungan umum atau khusus, rasional dan sensual atau imajinatif, kausalitas, ‘illat dan ma’lul, kontradiksi dan sebagainya.

Timbulnya ilmu munasabah ini tampaknya bertolak dari fakta sejarah bahwa susunan ayat dan tertib surah demi surah al-Qur’an sebagaimana yang terdapat dalam mushhaf sekarang ( mushhaf ‘Utsmani atau yang lebih dikenal dengan mushhaf al-Imam ), tidak didasarkan fakta kronologis. Kronologis turunnya ayat-ayat atau surah-surah al-Qur’an tidak diawali dengan Q.S al-Fatihah, tetapi diawali dengan lima ayat pertama dari Q.S Al-‘Alaq. Surah yang kedua turun adalah Q.S al-Muddatsir. Sementara surah kedua dalam mushhaf yang digunakan sekarang Q.S al-Baqarah.[1]

Berdasarkan kepada beberapa pengertian sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, pada prinsipnya munasabah Al-Qur’an mencakup hubungan antar kalimat, antar ayat, serta antar surah. Macam-macam hubungan tersebut apabila diperinci akan menjadi sebagai berikut :

1. Munasabah antara surah dengan surah.

2. Munasabah antara nama surah dengan kandunagan isinya.

3. Munasabah antara kalimat dalam satu ayat.

4. Munasabah antara ayat dengan ayat dalam satu surah.

5. Munasabah antara ayat dengan isi ayat itu sendiri.

6. Munasabah antara uraian surah dengan akhir uraian surah.

7. Munasabah antara akhir surah dengan awal surah berikutnya.

8. Munasabah antara ayat tentang satu tema.

Dalam upaya memahami lebih jauh tentang aspek-aspek munasabah yang telah diterangkan di atas akan diajukan beberapa contoh di bawah ini.

1. Munasabah Antara Surah Dengan Surah.

Keserasian hubungan atau munasabah antar surah ini pada hakikatnya memperlihatkan kaitan yang erat dari suatu surah dengan surah lainnya.

Bentuk munasabah yang tercermin pada masing-masing surah, kelihatannya memperlihatkan kesatuan tema. Salah satunya memuat tema sentral, sedangkan surat-surat yang lainnya menguraikan sub-sub tema berikut perinciannya, baik secara umum maupun secara parsial. Salah satu contoh yang dapat diajukan di sini adalah munasabah yang dapat ditarik pada tiga surah beruntun, masing-masing Q.S al-Fatihah (1), Q.S al-baqarah (2), dan Q.S Al-Imran (3).[2]

Satu surah berfungsi menjelaskan surah sebelumnya, misalnya di dalam surah al-Fatihah / 1 : 6 disebutkan :

اهدنا الصراط المستقيم .

Tunjukilah kami ke jalan yang lurus”.

Lalu dijelaskan di dalam surah al-Baqarah, bahwa jalan yang lurus itu ialah mengikuti petunjuk Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan :

ذلك الكتاب لاريب فيه هدى للمتقين .

“Kitab ( al-Qur’an ) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa”. ( Q.S Al-Baqarah / 2 : 2 ).[3]

2. Munasabah Antara Nama Surah Dengan Kandungan Isinya.

Nama suatu surah pada dasarnya bersifat tawqifi. Namun beberapa bukti menunjukkan bahwa suatu surah terkadang memiliki satu nama dan terkadang dua nama atau lebih. Tampaknya ada rahasia dibalik nama tersebut. Para ahli tafsir sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Sayuthi melihat adanya keterkaitan antara nama-nama surah dengan isi atau uraian yang dimuat dalam suatu surah. Kaitan antara nama surah dengan isi ini dapat di indentifikasikan sebagai berikut :

a. Nama diambil dari urgensi isi serta kedudukan surah. Nama surah al-Fatihah disebut dengan umm al-Kitab karena urgensinya dan disebut dengan al-Fatihah karena kedudukannya.

b. Nama diambil dari perumpamaan, peristiwa, kisah atau peran yang menonjol, yang dipparkan pada rangkaian ayat-ayatnya; sementara di dalam perumpamaan, peristiwa, kisah atau peran itu sarat dengan ide. Di sini dapat disebut nama-nama surah : al-‘Ankabut, al-Fath, al-Fil, al-Lahab dan sebagainya.

c. Nama sebagai cerminan isi pokoknya, misalnya al-ikhlas karena mengandung ide pokok keimanan yang paling mendalam serta kepasrahan ; al-Mulk mengandung ide pokok hakikat kekuasaan dan sebagainya.

d. Nama diambil dari tema spesifik untuk dijadikan acuan bagi ayat-ayat lain yang tersebar diberbagai surah. Contoh al-Hajj ( dengan spesifik tema haji ), al-Nisa ( dengan spesifik tema tentang tatanan kehidupan rumah tangga ). Kata Nisa yang berarti kaum wanita adalah lambang keharmonisan rumah tangga.

e. Nama diambil dari huruf-huruf tertentu yang terletak dipermulaan surah, sekaligus untuk menuntut perhatian khusus terhadap ayat-ayat di dalamnya yang memakai huruf itu. Contohnya : Thaha, Yasin, Shad dan Qaf.

3. Munasabah Antara Satu Kalimat Lainnya Dalam Satu Ayat.

Munasabah antara satu kalimat dengan kalimat yang lainnya dalam satu ayat dapat dilihat dari dua segi. Pertama adanya hubungan langsung antar kalimat secara konkrit yang jika hilang atau terputus salah satu kalimat akan merusak isi ayat. Identifikasi munasabah dalam tipe ini memperlihatkan ciri-ciri ta’kid / tasydid ( penguat / penegasan ) dan tafsir / I’tiradh ( interfretasi / penjelasan dan ciri-cirinya). Contoh sederhana ta’kid :

فإن لم تفعلوا “ , dikuti ولن تفعلوا” ( Q.S al-Baqarah / 2 : 24 ).

Contoh tafsir :

سبحان الذى اسرى بعبده ليلا من المسجد الحرام الى المسجد الأقصى

Kemudian diikuti dengan

الذى باركنا حوله لنريه من اياتنا ( الإسراء / 17 : 1 ).

Kedua masing-masing kalimat berdiri sendiri, ada hubungan tetapi tidak langsung secara konkrit, terkadang ada penghubung huruf ‘ athaf ‘ dan terkadang tidak ada. Dalam konteks ini, munasabahnya terletak pada :

a. Susunan kalimat-kalimatnya berbentuk rangkaian pertanyaan, perintah dan atau larangan yang tak dapat diputus dengan fashilah.

Salah satu contoh :

ولئن سألتهم من خلق السماوات والأرض __ ليقولون الله __ قل الحمد لله ( لقمان : 25 ).

b. Munasabah berbentuk istishrad ( penjelasan lebih lanjut ). Contoh :

يسألونك عن الأهلة ___ قل هى ___ ( البقرة / 2 : 189 ).

c. Munasabah berbentuk nazhir / matsil ( hubungan sebanding ) atau mudhaddah / ta’kis ( hubungan kontradiksi ). Contoh :

ليس البر أن تولوا وجوهكم قبل المشرق والمغرب ___ ولكن البر ... ( البقرة / 2 : 177 ).

4. Munasabah Antara Ayat Dengan Ayat Dalam Satu Surah.

Untuk melihat munasabah semacam ini perlu diketahui bahwa ini didaftarkan pada pandangan datar yaitu meskipun dalam satu surah tersebar sejumlah ayat, namun pada hakikatnya semua ayat itu tersusun dengan tertib dengan ikatan yang padu sehingga membentuk fikiran serta jalinan informasi yang sistematis. Untuk menyebut sebuah contoh, ayat-ayat diawal Q.S al-Baqarah 1 – 20 memberikan sistematika informasi tentang keimanan, kekufuran, serta kemunafikan. Untuk mengidentifikasikan ketiga tipologi iman, kafir dan nifaq, dapat ditarik hubungan ayat-ayat tersebut.[4]

Misalnya surah al-Mu’minun dimulai dengan :

قد أفلح المؤمنون “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”.

Kemudian dibagian akhir surah ini ditemukan kalimat :

انه لا يفلح الكافرون.

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tidak beruntung”.[5]

5. Munasabah Antara Penutup Ayat Dengan Isi Ayat Itu Sendiri.

Munasabah pada bagian ini, Imam al-Sayuthi menyebut empat bentuk yaitu al-Tamkin ( mengukuhkan isi ayat ), al-Tashdir ( memberikan sandaran isi ayat pada sumbernya ), al-Tawsyih ( mempertajam relevansi makna ) dan al-Ighal ( tambahan penjelasan ).

Sebagai contoh :

فتبارك الله احسن الخالقين mengukuhkan ثم خلقنا النطفة علقة bahkan mengukuhkan hubungan dengan dua ayat sebelumnya ( al-Mukminun : 12 – 14 ). Kalimat-kalimat : لقوم يتفكرون , لقوم يعقلون , لقوم يفقهون selalu menjadi sandaran isi ayat. Kata “halim” sangat erat hubungannya dengan ‘ibadat, sementara “rasyid” kuat hubungannya dengan al-amwal seperti bunyi ayat Q.S Hud : 87 berikut :

قالوا يا شعيب أصلاتك تأمرك أن نترك مايعبد اباؤنا أو أن نفعل فى أموالنا مانشاؤا إنك لأنت الحليم الرشيد Sedangkan bentuk al-Ighal dapat dijumpai pada Q.S al-Naml ( 27 ) : 80 :

انك لاتسمع الموتى ولاتسمع الصم الدعاء إذا ولوا مد برين

Kata “Wallaw” yang artinya ‘bila mereka berpaling’ berfungsi sebagai penjelasan terhadap arti ( orang tuli ).

6. Munasabah Antara Awal Uraian Surah Dengan Akhir Uraian Surah.

Salah satu rahasia keajaiban al-Qur’an adalah adanya keserasian serta hubungan yang erat antara awal uraian suatu surat dengan akhir uraiannya. Sebagai contoh, dikemukakan oleh al-Zamakhsyari demikian juga al-Kirmani bahwa Q.S al-Mu’minun diawali dengan “قد افلح المؤمنون “ ( respek Tuhan kepada orang-orang Mukmin ) dan diakhiri dengan “انه لايفلح الكافرين “ ( sama sekali Allah tidak menaruh respek terhadap orang-orang Kafir ). Dalam Q.S al-Qashas, al-Sayuthi melihat adanya munasabah antara pembicaraan tentang perjuangan Nabi Musa menghadapi Fir’aun seperti tergambar pada awal surah dengan Nabi Muhammad SAW yang menghadapi tekanan kaumnya seperti tergambar pada situasi yang dihadapi oleh Musa As dan Muhammad SAW, serta jaminan Allah bahwa mereka akan memperoleh kemenangan.[6]

7. Munasabah Antara Penutup Suatu Surah Dengan Awal Surah Berikutnya.

Misalnya akhir surah al-Waqi’ah / 96 :

فسبح باسم ربك العظيم

“Maka bertasbihlah dengan ( menyebut ) nama Tuhanmu Yang Maha Besar”.

Lalu surah berikutnya, yakni surah al-Hadid / 57 ayat 1 :

سبح الله مافى السموات والأرض وهو العزيز الحكيم

“Semua yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah ( menyatakan kebesaran Allah ). Dan Dia-lah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.[7]

8. Munasabah Antar Ayat Tentang Satu Tema.

Munasabah antar ayat tentang satu tema ini, sebagaimana dijelaskan oleh al-Sayuthi, pertama-tama dirintis oleh al-Kisa’I dan al-Sakhawi. Sementara al-Kirmani menggunakan metodologi munasabah dalam membahas mutasyabih al-Qur’an dengan karyanya yang berjudul al-Burhan fi Mutasyabih al-Qur’an. Karya yang dinilainya paling bagus adalah Durrah al-Tanzil wa Gharrat al-Ta’wil oleh Abu ‘Abd Allah al-Razi dan Malak al-Ta’wil oleh Abu Ja’far Ibn al-Zubair.[8]

Munasabah ini sebagai contoh dapat dikemukakan tentang tema qiwamah ( tegaknya suatu kepemimpinan ). Paling tidak terdapat dua ayat yang saling bermunasabah, yakni Q.S al-Nisa ( 4 ) : 34 :

الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض و بما أنفقوا من أموالهم.

Dan Q.S al-Mujadalah ( 58 ) : 11 :

يرفع الله الذين امنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات والله بما تعملون خبير.

Tegaknya qiwamah ( konteks parsialnya qiwamat al-rijal ‘ala al-nisa ) erat sekali kaitannya dengan faktor Ilmu pengetahuan / teknologi dan faktor ekonomi. Q.S al-Nisa menunjuk kata kunci “Bima Fadhdhala” dan “al-Ilm” . Antara “Bima fadhdhala” dengan “yarfa’” terdapat kaitan dan keserasian arti dalam kata kunci nilai lebih yang muncul karena faktor ‘Ilm.[9]

Munasabah al-Qur’an diketahui berdasarkan ijtihad, bukan melalui petunjuk Nabi ( tawqifi ). Setiap orang bisa saja menghubung-hubungkan antara berbagai hal dalam Kitab al-Qur’an.[10]

B. Urgensi Dan Kegunaan Mempelajari Munasabah.

Mengenai hubungan antara suatu ayat / surah dengan ayat / surah lain ( sebelum / sesudahnya ), tidaklah kalah pentingnya dengan mengetahui sebab nuzulul ayat. Sebab mengetahui adanya hubungan antara ayat-ayat dan surah itu dapat pula membantu kita memahami dengan tepat ayat-ayat dan surah-surah yang bersangkutan. Ilmu al-Qur’an mengenai masalah ini disebut :

علم تناس الايات والسور

Ilmu ini dapat berpesan mengganti Ilmu Asbabun Nuzul, apabila kita tidak dapat mengetahui sebab turunnya suatu ayat, tetapi kita bisa mengetahui adanya relevansi ayat itu dengan ayat lainnya. Sehingga dikalangan ulama timbul masalah : mana yang didahulukan antara mengetahui sebab turunnya ayat dengan mengetahui hubungan antara ayat itu dengan ayat lain. Seorang ulama bernama Burhanuddin al-Biqa’i menyusun kitab yang sangat berharga dalam ilmu ini, yang diberi nama :

نظم الدرر فى تناس الايات والسور

Ada beberapa pendapat diklangan ulama tentang : علم تناس الايات والسور ini. Ada yang berpendapat, bahwa setiap ayat / surah selalu ada relevansinya dengan ayat / surah lain. Adapula yang berpendapat, bahwa hubungan itu tidak selalu ada hanya memang sebagian besar ayat-ayat dan surah-surah ada hubungannya satu sama lain. Di samping itu, ada yang berpendapat, bahwa mudah mencari hubungan antara suatu ayat dengan ayat lain, tetapi sukar sekali mencari hubungan antara suatu surah dengan surah lain.[11]

Segolongan dari antara para ulama Islam ada yang berpendapat, bahwa ayat-ayat Al-Qur’an itu satu dengan yang lain tidak ada hubungannya. Tetapi segolongan dari antara para ulama Islam ada yang berpendapat, bahwa ayat-ayat Al-Qur’an itu satu dengan yang lain ada hubungannya.

Golongan yang pertama beralasan : oleh karena ayat-ayat Al-Qur’an itu di dalam surah-surahnya tidak dijadikan berbab-bab dan berpasal-pasal dan pada nampaknya memang tidak teratur, bahkan kadang didapati satu ayat yang berisi perintah dengan satu ayat lain yang berisi larangan, yang di antaranya sudah diselingi ayat lain yang berisi qisshah, maka tidak mungkin jadi ayat-ayat itu satu dengan yang lain ada hubungannya. Selanjutnya dikatakan pula oleh mereka : “Bahwa perbuatan orang yang memperhubungkan satu ayat dengan ayat yang lain itu, adalah suatu perbuatan yang memberatkan diri sendiri”.

Golongan yang kedua beralasan : oleh karena letak tiap-tiap ayat dan surah Al-Qur’an itu dari sejak diturunkan sudah diatur dan ditertibkan oleh Allah dan Nabi SAW, tinggal memerintahkan kepada para penulisnya pada waktu ayat-ayat itu diturunkan tentang letak dan tempatnya tiap-tiap ayat dan surah, maka sudah barang tentu pimpinan yang sedemikian itu mengandung arti, bahwa tiap-tiap ayat di dalam Al-Qur’an itu satu dengan lainnya ada hubungannya. Selanjutnya oleh mereka dikatakan : “Bahwa sekalipun pada lahirnya ayat-ayat Al-Qur’an itu tidak teratur dan tidak tersusun, tetapi dalam hakikatnya sangat teratur dan tersusun rapi”.

Kedua pendapat itu baiknya kita pikirkan bersama, karena kedua-duanya adalah dari buah pikiran mereka masing-masing. Hanya kami berpendapat dan berpendirian, bahwa kemungkinan besar ayat-ayat yang tertulis di dalam tiap-tiap surah Al-Qur’an itu ada hubungannya satu dengan yang lain.[12]

Mengingat pentingnya ilmu ini, kami rasa perlu menambah penjelasan-penjelasan sebagai berikut :

1. Abu Bakar al-Naisabury ( wafat tahun 324 H ) adalah ulama yang pertama-tama memperkenalkan : علم تناس الايات والسور di Baghdad Iraq. Ia mencela / mengeritik ulama Baghdad, karena mereka tidak tahu adanya relevansi antara ayat-ayat dan antara surat-surat. Ia selalu berkata ( apabila dibacakan kepadanya suatu ayat atau suatu surat ) :

لم جعلت هذه الاية الى جنب هذه السورة ؟

وما الحكمة فى جعل هذه

Artinya : “Mengapa ayat ini dibuat ( diletakkan ) di dekat ayat itu ? Dan apa hikmahnya membuat / meletakkan surah ini dekat dengan surat itu ?”

2. Muhammad ‘Izah Daruzah menyatakan, bahwa semula orang mengira tidak ada hubungan antara satu ayat / surah dengan ayat / surah lain. Tetapi sebenarnya ternyata, bahwa sebagian besar ayat-ayat dan surah-surah itu ada hubungan antara satu dengan yang lain.

Untuk jelasnya kami ambilkan contoh-contoh surah-surah yang ada hubungannya satu sama lain, ialah surah al-Fath, ada hubungannya dengan surah sebelumnya ( surah al-Qital / Muhammad ) dan juga dengan surah sesudahnya ( al-Hujarat ).

3. Dr. Shubi al-Shalih dalam kitabnya :

مباحث فى علوم القران

Mengemukakan bahwa mencari hubungan antara satu surah dengan surah lainnya adalah sesuatu yang sulit dan sesuatu yang dicari-cari tanpa ada pedoman / petunjuk, kecuali hanya didasarkan atas tertib surah-surah yang tauqifi itu. Padahal tertib surah-surah yang tauqifi tidaklah berarti harus ada hubungan antara ayat-ayat yang tauqifi itupun tidak berarti harus ada relevansi antara ayat-ayat al-Qur’an itu, apabila ayat-ayat itu mempunyai sebab-sebab nuzul Qur’an itu, apabila ayat-ayat itu mempunyai sebab-sebab nuzul Qur’an yang berbeda-beda. Hanya biasanya, tiap surat itu mempunyai maudhu’ ( topik ) yang menonjol dan bersifat umum, yang kemudian di atas maudlu’ itu tersusun bagian-bagian surat itu, yang ada hubungannya antara semua bagiannya itu. Tetapi itu tidaklah berarti ada kesatuan atau persamaan maudlu’ pada semua surah al-Qur’an.

Kriteria / ukuran untuk menetapkan ada / tidaknya munasabah / relevansi antara ayat-ayat dan antara surah-surah adalah tamatsul atau tasyabuh ( persamaan / persesuaian ) antara maudlu’-maudlu’nya. Maka apabila ayat-ayat / surah-surah itu mengenai hal-hal yang ada kesamaan / kesatuan yang berhubungan ayat-ayat permulaannya dengan ayat-ayat / surah-surah secara logis dan dapat diterima. Tetapi apabila mengenai ayat-ayat / surah-surah yang berbeda-beda sebab turunnya dan tentang hal-hal yang tidak sama atau serupa, maka sudah tentu tidak ada munasabah / relevansi antara ayat-ayat / surah-surah itu.

Dengan kriteria tersebut, maka dapat dibayangkan bahwa letak / titik persesuaian ( munasabah / relevansi ) antara ayat-ayat dan antara surat-surat itu kadang-kadang tampak jelas dan kadang-kadang tidak nampak dan bahwa jelasnya letak munasabah antara ayat-ayat itu sedikit kemungkinannya, sebaliknya terlihatnya dengan jelas letak munasabah antara surat-surat itu jarang sekali kemungkinannya. Dan hal ini disebabkan karena pembicaraan mengenai suatu hal, jarang bisa sempurna hanya dengan satu ayat saja. Karena itu berturut-turut beberapa ayat mengenai satu maudlu’ untuk menguatkan dan menerangkan توكيدا وتفسيرا , atau untuk menghubungkan dan memberi penjelasan عطفا وبيانا , atau untuk mengecualikan dan mengkhususkan استثناء وحصرا , atau untuk menengahi dan mengakhiri pembicaraan اعتراضا وتذييلا , sehingga ayat-ayat beriring-iringan itu merupakan satu kelompok ayat yang sebanding dan serupa.[13]

BAB III

K E S I M P U L A N

Mengkaji munasabah al-Qur’an dapat dianggap penting, karena akan diperoleh faedah memperoleh pemahaman yang lebih sempurna dari teks al-Qur’an. Karena persoalan munasabah termasuk dalam kategori ijtihad, maka kaidah-kaidahnya pun bersifat ijtihadi. Namun secara umum mereka sepakat bahwa kaidah Ilmu Mantiq serta Ilmu Bahasa mutlak diperlukan. Dengan demikian analisis filosofis serta analisis bahasa menjadi penting dalam metodologi penelitian munasabah al-Qur’an. Munasabah al-Qur’an dengan demikian dapat pula menjadi salah satu cabang Ilmu Al-Qur’an yang penting dan strategis. Ilmu Munasabah ini sekaligus menjadi sebuah perangkat yang melengkapi metodologi pemahaman al-Qur’an secara konprehensif.

Tentang ini para ulama yang ahli Ilmu Bahasa Arab dan bahasa Al-Qur’an tidak kurang-kurang yang telah mengupas dan menjelaskannya. Dan Syekh Muhammad Abduh serta Said Muhammad Rasyid Ridha dalam kitab tafsirnya “Al-Manar” tidak sedikit menjelaskan tentang hubungan ayat satu dengan ayat lainnya dalam menafsiri dan mengupas ayat-ayat yang ditafsiri.

DAFTAR PUSTAKA

Gazali. Ulumul Qur’an. Banjarmasin : Indra Media. 2003.

Khalil, Moenawar. Al-Qur’an Dari Masa Ke Masa. Solo : Ramadhani. 1985.

Shihab, M. Quraisy. Sejarah Dan Ulumul Qur’an. Jakarta : Pustaka Firdaus. 1999.

T.P Penterjemah al-Qur’an. Al-Qur’an Dan Terjemahnya. Jakarta : Depertemen Agama RI. 1979 / 1980. h. 112, 154, dan 184.

Zuhdi, Masjfuk.Pengantar Ulumul Qur’an. Surabaya : Bina Ilmu. 1982.



[1] Gazali. “Ulumul Qur’an”. ( Banjarmasin : Indra Media, 2003 ). H. 32 – 34.

[2] Ibid. h. 41m – 42.

[3] M. Quraisy Shihab. “Sejarah dan ‘Ulumul Qur’an”. ( jakarta : Pustaka Firdaus, 1999 ). H. 75.

[4] Gazali. Op. Cit. h. 43 – 46.

[5] M. Quraisy Shihab. Op. Cit. h. 76.

[6] Gazali. Op. Cit. h. 46 - 48.

[7] M. Quraisy Shihab. Op. Cit. h. 77.

[8] Lihat Y.P. Penterjemah al-Qur’an. Al-Qur’an dan Terjemahnya. ( Jakarta : Departemen Agama RI, 1979 / 1980 ). h. 112, 154 dan 184.

[9] Gazali. Op. Cit. h. 49 – 51.

[10] M. Quraisy Shihab. Op. Cit. h. 77.

[11] Masjfuk Zuhdi. “Pengantar Ulumul Qur’an.” ( Surabaya : Bina Ilmu, 1982 ). h. 167 – 168.

[12] Moenawar Khalil. “Al-Qur’an Dari Masa Ke Masa”. ( Solo : Ramadhani, 1985 ).

[13] Masjfuk Zuhdi. Op. Cit. h. 168 – 170.

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Terima kasih pengetahuanya, sangat bermanfaat. Ijin untuk disave

    BalasHapus
  2. Sekali lagi, terima kasih ilmunya. SUkses terus.

    BalasHapus